Naskah pertama biasanya kurang rapi dan bahasanya kurang jelas. Inilah naskah kasar, dan mustahil naskah pertama bersifat sempurna. Sesudah naskah kasar ini lengkap, harus di sempurnakan sekali lagi. Untuk menghasilkan makalah yang bermutu, saudara harus menulis tidak kurang dari dua naskah kasar (tiga kalau dapat), dan yang kedua adalah penyempurnaan dari yang pertama. Penulis makalah jarang diperbolehkan minta dosen membacanya; dosen hanya ingin membaca dan menilai naskah terkhir.
Menilai diri. Bila banyak mahasiswa melihat naskah kasar mereka, ada salah satu dari dua respon. Saudara lebih seperti A atau B?
Ada tiga cara yang mungkin menolong saudara menyempurnakan naskah, dan semua hendaknya Saudara gunakan.
Pertama, bila paper sudah dianggap baik, simpanlah bab itu selama dua atau tiga hari supaya detail-detail isinya mulai terlupa. Sesudah itu, bacalah sekali lagi. Apakah masih kelihatan sempurna? Biasanya hal-hal yang harus disempurnakan semakin menonjol.
Kedua, tulislah semua koreksi langsung pada naskah kasar. Tandailah semua kekurangan dan sebutkanlah apa kekurangannya. Naskah kasar itu boleh menjadi jelek dengan coretan, tulisan tambahan, tempelan, dan lain sebagainya. Nanti Saudara mudah merevisinya sambil menulis. Yang penting bukan kerapian naskah kasar melainkan adanya cukup banyak usul penyempurnaan supaya mudah menulis naskah kasar berikutnya.
Ketiga, bacalah naskah dengan suara yang terdengar. Mungkin kalimat atau paragraf tertentu kedengarannya janggal, majemuk, atau membinggungkan. Kalau saudara tersendat (biarpun sedikit) membaca kalimat tertentu, anggaplah kalimat itu janggal. Dapat terjadi saudara sendiri kurang mengertinya dengan mudah. Bagian itu harus dipikirkan ulang dan disempurnakan. Kalau sesuatu sukar dibaca dengan lancar, anggaplah itu sebagai kejanggalan yang perlu diperbaiki.
Menilai diri. Apakah saudara sungguh-sungguh membaca apa yang tertulis, atau apa yang saudara anggap tertulis? Apakah saudara sadar bila kejanggalan bahasa menyebabkan suara tersendat, harus membaca ulang, atau harus menyesuaikan nada suara?
Seringkali penulis makalah penelitian perpustakaan harus merubah garis besarnya sesudah penulisan naskah kasar. Walaupun ini terasa sebagai perubahan besar, namun makalah menjadi lebih matang dan kesimpulannya menjadi jauh lebih kuat.
Sesudah penulisan naskah pertama, penulis menjadi sadar akan kekurangan akan garis besarnya. Ia harus mendalami pokok selama penulisan naskah kasar, sehinga tujuan makalah semakin jelas dan tajam. Dengan lebih memahami factor-faktor yang paling berperan dalam penentuan kesimpulan, penulis dapat menilai bagian makalah yang mana berfungsi untuk meguatkan kesimpulan.
Penulis harus memeriksa logika dalam naskah makalah. Misalnya, penulis tidak boleh membuat generalisasi yang terlalu luas. Andaikan seorang penulis, “semua manusia mempunyai dua kaki.” Dengan melihat itu, penulis menyadari bahwa kalimat itu merupakan keterlaluan karena orang-orang tertentu lahir cacat atau kehilangan kaki dalam kecelakaan. Lalu ia merevisi menjadi: “hampir semua manusia mempunyai dua kaki.”
Bila tertulis atau hanya tersirat, kata-kata tertentu mudah menjadi keterlaluan, misalnya, “selalu,” “tidak ada,” Tidak pernah “pasti,” “akan,” “satu-satunya,” “semua,” dan lain sebagainya. Dapat terjadi ada perkecualian atau sesuatu yang belum tentu demikian.
Begitu juga, penulis harus merevisi pernyataan yang kurang lengkap. Misalnya, “rumah ini terlalu mahal.” Akan tetapi, “terlalu mahal” sangat relative, karena tergantung keberadaan suatu anggaran belanja. Mungkin lebih tepat menulis, “rumah ini terlalu mahal untuk keluarga saya.”
Logika lain yang harus di periksa dalam naskah kasar adalah:
Bahasa yang simpangsiur harus direvisi. Kalau saudara mengerti pokok yang di bahas, pokok pikiran selalu dapat disusun secara mudah di mengerti, dengan tidak menggulangi pokok pikiran yang tidak perlu.
Dengan menyempurnakan naskah, penulisan lebih mengerti pokok bahasan.
Susunlah pikiran sekali lagi, dan pindahkanlah pokok pikiran, suku kalimat paragraf bila perlu. Buanglah mata bahasan yang tidak releven.
Mungkin juga pikiran harus dikelompokkan lagi secara lebih tepat. Akibatnya, saudara lebih memahami pokok bahasan secara lebih dalam, karena pengelompokan ulang mempermudah perbandingan pikiran-pikiran yang mirip.
Perhatikanlah panjangnya kalimat, karena kalimat pendek biasanya lebih mudah dimengerti daripada kalimat panjang. Kalimat tidak boleh melebihi 25 kata, dan sebaiknya kalimat rata-rata 10-15 kata.
Mahasiswa tertentu sering menulis kalimat sepanjang 60 kata. Kadang-kadang mahasiswa kurang membedakan paragraf dan kalimat, sehingga 1 paragraf dapat terdiri dari 1 kalimat saja.
Kalimat panjang sering membinggungkan pembaca. Kalimat panjang sering menggulangi unsur yang tidak perlu, dan tata bahasanya mudah keliru. Kalimat yang panjang sering simpangsiur atau kehilangan arti karena aarahnya berbelok di tenggah kalimat. Memang pembaca (dan dosen saudara) lebih senang membaca kalimat yang pendek dan jelas dengan urutan isi yang mudah dimengerti.
Panjangnya kalimat tidak boleh selalu sama. Pola kalimat yang kurang berfariasi menandai aneka masalah. Mungkin tata bahasa kurang berfariasi. Bila di baca, kedengarannya keputus-putus atau menjadi irama yang sangat menjengkelkan atau membosankan pembaca. Dapat terjadi pula bahwa susunan isi kurang tepat. Kalimat harus sangat pendek kalau ditekankan atau menunjukan arah, sedangkan kalimat panjang cocok untuk uraian yang majemuk. Dibawah ini ada contoh bahasa yang menjengkelkan atau membosankan:
Panjangnya kalimat tidak boleh selalu sama. Panjangnya kalimat yang selalu sama menandai aneka masalah. Mungkin tata bahasa kurang berdariasi. Bila di baca, entar putus-putus. Iramanya mungkin sangat menjengkelkan atau membosankan. Mungkin susunan isi kurang tepat. Kalimat pendek cocok memberi tekanan atau menunjukan arah. Kalimat panjang cocok untuk uraian yang majemuk.
Dalam contoh ini, hanya 1 kalimat yang 4 kata, dan kaliat lainya berisi 5 sampai 8 kata. Sebaiknya beberapa kalimat dijadikan satu supaya menjadi 15-20 kalimat.
Kalimatnya sangat pendek jarang cocok di akhir paragraf, kecuali kalimat itu sengaja berfungsi sebagai penutup paragraf. Bila pembaca melihat kalimat pendek yang aneh di akhir paragraf, kelancaran pembacaannya terganggu, dan kalimat itu kelihatannya janggal dan aneh. Kesan dari kalimat itu biasanya mencerminkan kenyataan bahwa pikiran itu muncul belakangan dan belum dipaduhkan dengan isi paragraf.
Kadang-kadang mahasiswa mempunyai pra-duga bahwa banyak penjelasan menjadikan pokok lebih jelas. Justru sebaliknya yang sering terjadi; dengan semakin banyak keterangan, pembaca semakin binggung. Sebaiknya setiap mata bahasa di sampaikan satu kali saja, tetapi dalam bentuk yang jelas, sehingga makalah tidak memerlukan penjelasan yang berulang-ulang.
Ada juga mahasiswa yang merasa bahwa bahasa majemuk adalah sangat sarjanawi dan berbobot. Harus diakui bahwa tidak semua akademi kus pandai menulis. (Lih. “Mutu Artikel Jurnal Yang Sudah Terbit” di akhtir bab ini.) Akan tetapi ini bukan alas an yang tepat untuk menulis bahasan yang majemuk.
Bahasa harus jelas, tepat, padat, dan sederhana.
Pada umumnya, bahasa harus jelas, tepat, padat, dan sederhana; berbobot tidak berarti “sukar dimengerti.” Bahasa yang majemuk hanya sarjanawi jika isi pokok menuntutnya. Bahasa yang rumit sering menyembunyikan pikiran yang agak sederhana maupun kabur. Penulis jarang sekali terpaksa menulis kalimat yang panjang dan majemuk, atau menggunakan banyak istilah terpelajaratau bahasa asing. Usahakan untuk tidak menggunakan istilah dari bahasa asing kalau sudah ada istilah Bahasa Indonesia yang jelas dan tepat.
Karya tulis ilmiah tidak boleh berisi banyak bahasa kiasan/indah, agar bahasan tidak menjadi kabur, subyektif, atau panjang lebar.
Hindari bahasa yang mengisi kertas saja. Kelemahan ini sering terlihat dalam paper dan segala macam naskah kasar. Memang peringkasan menjadi suatu tugas utama waktu menyempurnakan naskah. Saudara menjadi penulis yang pandai, bukan karena tidak pernah berlele-tele dalam bahasa tertulis, melainkan kalau bertele-tele itu hanya terdapat dalam naskah kasar yang tidak pernah dilihat oleh orang lain.
💡 Ingat!! Bahasa yang baik membawa kesan bahwa penulisannya mudah. Kenyataan justru sebaliknya. Mudah sekali menulis bahasa yang sangat majemuk. Tugas yang sulit adalah penyempurnaan. Penulis harus bekerja keras untuk menyempurnakan supaya bahasanya jelas dan sederhana, sehingga dapat dibaca dengan tepat. Mutu makalah tidak tergantung kemampuan untuk menulis naskah pertama yang sangat baik, melainkan kemampuan untuk menyempurnakan naskah.
Naskah kasar biasanya mengisi kertas dengan menggunakan bahasa yang terlalu majemuk. Beberapa selalu banyak dicurigai. (walaupun tidak terlalu salah) karena artinya sangat kabur: Keadaan, hal, terjadi, sesuatu.
Contoh-contoh di bawah ini menggunakan empat kata dan tata bahasa tertentu untuk mengisi kertas:
Dalam semua contoh ini terdapat unsur-unsur bahasa yang tidak perlu:
Bentuk yang benar adalah: Sdr Eddy menulis paper.
Penghiburan:
Mahasiswa tertentu segan memperpadat bahasa atau membuang bagian yang tidak releven karena takut jumlah kata makalah akan kurang dari jumlah yang ditentukan dosen. Jangan kuatir. Pasti banyak yang harus ditambah untuk menguatkan bagian makalah yang lemah.
Kadang-kadang mahasiswa menambah kata seperti contoh di bawah ini:
Dalam empat contoh ini, semua kata sebaiknya dihilangkan. Dalam contoh pertama dan kedua, terirat bahwa keterangan mungkin belum cukup jelas. Contoh ketiga tidak menambah arti pada karya tulis, dan contoh ke-empat menunjukan pendapat pribadi, bukan kebenaran yang dapat dibuktikan.
Dalam contoh lain, kata dasar sering tidak usah diulangi; misalnya, kurang tepat menulis, “Penyelenggara menyelenggarakan” atau “Terang meneranggi”.
Dalam contoh di bawah ini, kebanyakan bahasa digunakan untuk mengisi ketas:
Ada cara tertentu untuk menggunakan singkatan. Sebutan pertama dalam karya tulis adalah seperti contoh ini:
“ … Musyawarah Gereja Injili Jawa Tenggah (MGIJT) … ”, dan setiap sebutan lain cukup memberi singkatan harus dijelaskan dalam Daftar Singkatan.
Sebutkanlah nama dengan benar. Sebutan pertama boleh berisi nama pribadi sebagaimana tertulis di halaman judul bukunya (lengkap dengan titel kerajaan jika ada). Contoh: Raden Trimurti, A.K. Yusuf, Kusnadi Harjasumantri.
Untuk setiap sebutan lain, (dan boleh juga untuk sebutan pertama jika disebut sepintas kilas sehingga tidak harus “diperkenalkan” kepada pembaca), berilah nama kedua saja. Contoh: Trimurti Yusuf, Harjahsumantri. Kalau ada dua orang dengan nama yang sama, mereka dapat dibedahkan dengan huruf nama kecil. Contoh: A. Yusuf, S. Yusuf.
Titel Ningrat. Saudara boleh memberi title ningrat dalam sebutan pertama kalau yang bersangkutan menjadi tokoh dalam sejarah yang di kisahkan. Kalau mengutip dari karya tulis, title ningrat boleh dipakai untuk sebutan pertama jika title dicantumkan dalam halaman judul halaman judul karyanya.
Gelar Akademis. Pada umumnya karya tulis ilmiah tidak menyebutkan gelar akademis. Ada beberapa alasan:
Pendapat Saudara:
Dari alasan-alasan di atas, mana yang saudara anggap menjadi alasan yang tepat untuk tidak menyebutkan gelar akademis?
Di bawah ini ada daftar kelemahan biasa dalam naskah kasar, supaya penulis lebih mudah menilai naskahnya.
Daftar tersebut berasumsi bahwa pokok semula cukup sempit, dan masalahnya belum terselesaikan. (Bila naskah kasar kurang memenuhi dua syarat ini, kemungkinan besar saudara harus mulai menulis makalah baru dengan pokok baru.)
Masalah lain dapat mengharuskan perubahan yang sangat drastis. Misalnya, sesudah mendalami pokok dan terlanjur menulis naskah kasar, ternyata lebih dari satu masalah yang dihadapi. Mungkin saudara harus mengambil satu makalah saja dan menyiapkan naskah lagi.
Daftar kelemahan yang sering terlihat dalam naskah yang belum sempurna:
asbun.